Asal Usul Danau Maninjau
Menurut kisah yang telah beredar di masyarakat danau maninjau , dahulu kala di Sumatera Barat ada sebuah gunung berapi tinggi bernama Gunung Tinjau, di puncaknya terdapat kawah yang luas dan di kaki gunung terdapat beberapa perkampungan.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau, tinggal sepuluh orang
bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk
sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Bujang Sembilan yang artinya
Sembilan laki-laki, mereka bersaudara dengan kakak tertua bernama Kukuban dan
mempunyai adik bungsu bernama Siti Risani. Kegiatan sehari-hari mereka ialah
bertani, mereka dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang
akrab mereka panggil Engku.
Suatu hari Datuk Limbatang bersama istri dan anaknya bernama Giran
berkunjung ke rumah Bujang Sembilan yang merupakan kemenakan Datuk Limbatang.
Sampai di
rumah Bujang Sembilan, Giran melihat sosok Sani bagaikan bidadari yang turun
dari langit tanpa sayap membawa sejuta harapan yang meluluhkan hati Giran,
begitu juga Sani yang melihat sosok Giran bagaikan pangeran yang siap
mendampingi dirinya. Sani dan Giran-pun merajut jalinan asmara, mereka saling
mengungkapkan perasaan yang
berbunga-bunga tersebut. Sejak saat itu mereka berdua menjalin hubungan kasih.
Awalnya mereka menyembunyikan hubungan mereka. Namun bangkai mati-pun yang tak nampak
wujudnya akan tercium juga, akhirnya mereka berterus terang kepada keluarga
masing-masing karena dikhawatirkan terjadi fitnah.
Musim panen pun telah tiba,
masyarakat setempat merayakannya dengan perhelatan hebat yaitu adu ketangkasan
bermain silat. Tak ketinggalan Kukuban dan Giran ikut serta dalam perheletan
besar tersebut. Pada hari yang ditentukan, para peserta berkumpul dilapangan
dan menyiapkan diri untuk bertanding. Kukuban mendapatkan urutan pertama dan
berhasil mengalahkan lawannya. Tak disangka lawan berikut Kukuban ialah Gani.
Pertarungan pun dimulai, Kukuban
dan Gani saling baku hantam dan mengeluarkan jurus-jurus andalan yang mereka
miliki. Kukuban terus membuat serangan terhadap Gani, ketika Gani tertekan Kukuban melayangkan suatu tendangan
keras namun ditangkis oleh Gani. Namun apakah yang terjadi ? penonton dibuat
tercengang olehnya, Kukuban teriak kesakitan karena kakinya patah. Akhirnya Kukuban
dinyatakan kalah dari petarungan dan merasa dipermalukan oleh Gani. Disaat yang
sama Kukuban menyimpan dendam karena
merasa dipermalukan oleh Gani dalam pertarungan tersebut.
Beberapa bulan kemudian dendam Kukuban
yang telah terpendam lama itu akhirnya terungkap. Saat malam hari Datuk Limbatang bersama
istri niat untuk membicarakan pernikahan Gani dengan adiknya Sani. Malam itu menjadi malam yang
menegangkan karena terjadi cek-cok antara Datuk Limbatang yang sabar mengahadapi sikap Kukuban. Dan
malam itu sungguh mengecewakan Gani dan Sani yang tidak jadi menikah karena Kukuban tidak merestuinya.
Keesokan harinya, Gani dan Sani bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi. Setelah berunding, dengan perasaan kalut Sani beranjak untuk pulang, namun naas sial nasibnya karena duri menancap di sarung dan melukai pahanya. Berniat menyembuhkan luka Sani, Gani terkena fitnah oleh masyarakat diantaranya Kukuban yang ternyata diam-diam mengintai mereka dari balik pepohonan. Warga geram melihat perbuatan tersebut dan membawa mereka berdua untuk di sidang adat. Dalam persidangan, Gani dan Sani melakukan pembelaan yang dibantu Datuk Limbatang, namun usaha mereka sia-sia karena akhirnya dijatuhkan hukuman agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keesokan harinya, Gani dan Sani bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi. Setelah berunding, dengan perasaan kalut Sani beranjak untuk pulang, namun naas sial nasibnya karena duri menancap di sarung dan melukai pahanya. Berniat menyembuhkan luka Sani, Gani terkena fitnah oleh masyarakat diantaranya Kukuban yang ternyata diam-diam mengintai mereka dari balik pepohonan. Warga geram melihat perbuatan tersebut dan membawa mereka berdua untuk di sidang adat. Dalam persidangan, Gani dan Sani melakukan pembelaan yang dibantu Datuk Limbatang, namun usaha mereka sia-sia karena akhirnya dijatuhkan hukuman agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Mereka (Gani & Sani) diarak
warga menuju puncak Gunung Tinjau. Sampai dipinggir kawah, tangan dan dan mata
mereka ditutupi kain hitam. Namun sebelum mereka diterjunkan, mereka diberikan
kesempatan untuk menyampaikan permintaan terakhir. Disaat ini lah Gani
bersumpah bila dirinya benar melakukan perbuatan itu maka Tuhan akan menghancurkan
tubuhnya, jika tidak maka gunung tersebut akan meletus dan mengahncurkan
pemukiman warga.
Akhirnya mereka diterjunkan ke
kawah gunung, warga yang menyaksikan khawatir akan perkataan terakhir Gani
tadi. Selang beberapa saat mereka tenggelam, tiba-tiba gunung itu bergetar
kemudian mengeluarkan larva yang meluluh lantakan seluruh perkampungan dan
tidak ada satu orang yang tersisa.
Demikian legenda Bujang Sembilan
yang konon merupakan asal-uslu Danau Maninjau. Akibat letusan Gunung Tinjau
tersebut menjadikan suatu kawah yang lama-lama menjadi besar hingga menjadi
danau yang disebut Danau Maninjau. Legend ini mengandung pesan moral di
dalamnya, yakni kita sebagai manusia tidak boleh menyimpan dendam yang nantinya
bisa membawa kesengsaraan bagi orang lain atau diri kita. Sekali hati berkarat
maka sulit untuk di pulihkan kembali