HINGGA SAAT ini, setidaknya ada tiga penyebutan asal usul penyebutan nama riau. Pertama, toponomi riau berasal dari penamaan orang Portugis rio yang berarti sungai. Kedua, tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila menyebut riahi untuk suatu tempat di Pulau Bintan, seperti yang pernah dikemukakan oleh almarhum Oemar Amin Hoesin dalam pidatonya ketika terbentuknya Provinsi Riau. Ketiga, diambil dari kata rioh atau riuh yang berarti hiruk-pikuk, ramai orang bekerja. Dari ketiga kemungkinan di atas, kata rioh atau riuh merupakan hal yang paling sangat mendasar penyebutan nama Riau.
Nama
riau yang berpangkal dari ucapan rakyat setempat, konon berasal dari
suatu peristiwa ketika didirikannya negeri baru di sungai Carang untuk
jadikan pusat kerajaan. Hulu sungai itulah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira seperti teks seperti di bawah ini.
Tatkala
perahu-perahu dagang yang semula pergi ke Makam Tauhid (ibukota
Kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke sungai
Carang di pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di
muara sungai itu mereka kehilangan amh. Bila
ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “di mana tempat
orang-orang raja mendirikan negeri” mendapat jawaban “di sana di tempat
yang rioh” sambil mengisyaratkan ke hulu sungai. Menjelang sampai ke
tempat yang dimaksud, jika ditanya ke mana maksud mereka, selalu mereka
jawab, “mau ke rioh”.
Pembukaan
negeri Riau yang sebelumnya bernama sungai Carang itu pada 27 September
1673, diperintahkan oleh Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677)
kepada Laksamana Abdul Jamil. Setelah Riau menjadi negeri, maka Sultan
Sulaiman Badrul Alamsyah, merupakan sultan Riau pertama yang dinobatkan
pada 4 Oktober 1722. Setelahnya, nama Riau dipakai untuk menunjukkan
satu di antara 4 daerah utama kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.
Setelah
Perjanjian London 1824 yang membelah dua kerajaan tersebut menjadi dua
bagian, maka nama riau digabungkan dengan lingga, sehingga terkenal pula
sebutan Kerajaan Riau-Lingga. Pada zaman pemerintahan Belanda dan
Jepang, nama ini dipergunkan untuk daerah kepulauan Riau ditambah dengan
pesisir Timur Sumatera.
Pada
zaman kemerdekaan, Riau merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di
Provinsi Sumatera Tengah. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada pada
tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah
kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah provinsi seperti saat
ini. Sejak tahun 2002 Riau terpecah menjadi dua wilayah, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah yang menjadi Provinsi Riau saat ini berasal dari beberapa wilayah kerajaan Melayu sebelumnya yakni Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Inderagiri (1658-1838), dan Kerajaan Siak (1723-1858) dan sebagian dari Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913).
Setelah
Perjanjian London 1824 yang membelah dua kerajaan tersebut menjadi dua
bagian, maka nama riau digabungkan dengan lingga, sehingga terkenal pula
sebutan Kerajaan Riau-Lingga. Pada zaman pemerintahan Belanda dan
Jepang, nama ini dipergunkan untuk daerah kepulauan Riau ditambah dengan
pesisir Timur Sumatera.
Pada
zaman kemerdekaan, Riau merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di
Provinsi Sumatera Tengah. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada pada
tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah
kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah provinsi seperti saat
ini. Sejak tahun 2002 Riau terpecah menjadi dua wilayah, yaitu Provinsi
Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah yang menjadi Provinsi Riau
saat ini berasal dari beberapa wilayah kerajaan Melayu sebelumnya yakni
Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Inderagiri (1658-1838), dan
Kerajaan Siak (1723-1858) dan sebagian dari Kerajaan Riau-Lingga
(1824-1913).
Sejarah Provinsi Riau
Periode 5 Maret 1958 - 6 Januari 1960
Pembentukan
Provinsi Riau ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun
1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama
halnya dengan Provinsi lain yang ada di Indoensia, untuk berdirinya
Provinsi Riau memakan waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu
hampir 6 tahun (17 Nopember 1952 s/d 5 Maret 1958).
Dalam
Undang-undang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat,
Jambi dan Riau, Jo Lembaran Negara No 75 tahun 1957, daerah swatantra
Tingkat I Riau meliputi wilayah daerah swatantra tingkat II:
1. Bengkalis
2. Kampar
3. Indragiri
4. Kepulauan Riau
5. Kotaparaja Pekanbaru
Dengan
surat keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958
telah diangkat Mr. S.M. Amin, Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada
tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang
diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman. Pelantikan tersebut dilakukan
ditengah-tengah klimaksnya pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah yang
melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian, Pemerintah
Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan
kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.
Seiring
dengan terjadinya pemberontakan PRRI, telah menyebabkan kondisi
perekonomian di Provinsi Riau yang baru terbentuk semakin tidak menentu.
Untuk mengatasi kekurangan akan makanan, maka diambil tindakan darurat,
para pedagang yang mampu dikerahkan untuk mengadakan persediaan bahan
makanan yang luas. Dengan demikian dalam waktu singkat arus lalu lintas
barang yang diperlukan rakyat berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali.
Di
Riau Daratan yang baru dibebaskan dari pengaruh PRRI, pemerintahan di
Kabupaten mulai ditertibkan. Sebagai Bupati Inderagiri di Rengat
ditunjuk Tengku Bay, di Bengkalis Abdullah Syafei. Di Pekanbaru dibentuk
filial Kantor Gubernur yang pimpinannya didatangkan dari kantor
Gubernur Tanjungpinang, yaitu Bupati Dt. Wan Abdurrachman dibantu oleh
Wedana T. Kamaruzzaman.
Pemindahan Ibukota
Karena
situasi daerah telah mulai aman, maka oleh pemerintah (Menteri Dalam
Negeri) telah mulai difikirkan untuk menetapkan ibukota Provinsi Riau
secara sungguh-sungguh, karena penetapan Tanjungpinang sebagai ibukota
provinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri
telah mengirim kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30 Agustus 1958 No.
Sekr. 15/15/6.
Untuk
menanggapi maksud kawat tersebut secara sungguh-sungguh dan penuh
pertimbangan yang cukup dapat dipertanggung jawabkan, maka Badan
Penasehat meminta kepada Gubernur supaya membentuk suatu Panitia khusus.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau
tanggal 22 September 1958 No.21/0/3-D/58 dibentuk panitia Penyelidik
Penetapan Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I Riau.
Panitia
ini telah berkeliling ke seluruh Daerah Riau untuk mendengar
pendapat-pendapat pemuka-pemuka masyarakat, penguasa Perang Riau Daratan
dan Penguasa Perang Riau Kepulauan. Dari angket langsung yang diadakan
panitia tersebut, maka diambillah ketetapan, bahwa sebagai ibukota
terpilih Kota Pekanbaru. Pendapatan ini langsung disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri. Akhirnya tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat
Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai
ibukota Provinsi Riau.
Untuk
merealisir ketetapan tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia
interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke
Pekanbaru menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di
daerah dibentuk pula suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh
Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution.
Sejak
itulah mulai dibangun Kota Pekanbaru dan untuk tahap pertama
mempersiapkan bangunan-bangunan yang dalam waktu singkat dapat menampung
pemindahan kantor-kantor dan pegawai-pegawai dari Tanjung Pinang ke
Pekanbaru. Sementara persiapan pemindahan secara simultan terus
dilaksanakan, perubahan struktur pemerintahan daerah berdasarkan Penpres
No.6/1959 sekaligus direalisir.
Gubernur
Mr. S.M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik
digedung Sekolah Pei Ing Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960. Karena Kota
Pekanbaru belum mempunyai gedung yang representatif, maka dipakailah
gedung sekolah Pei Ing untuk tempat upacara.
Periode 6 Januari 1960 - 15 Nopember 1966
Dengan
di lantiknya Letkol Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka struktur
Pemerintahan Daerah Tingkat I Riau dengan sendirinya mengalami pula
perubahan. Badan Penasehat Gubernur Kepala Daerah dibubarkan dan
pelaksanaan pemindahan ibukota dimulai. Rombongan pemindahan pertama
dari Tanjungpinang ke Pekanbaru dimulai pada awal Januari 1960 dan mulai
saat itu resmilah Pekanbaru menjadi ibukota.
Aparatur
pemerintahan daerah, sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai
dilengkapi dan sebagai langkah pertama dengan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri tanggal 14 April 1960 No. PD6/2/12-10 telah dilantik Badan
Pemerintah Harian bertempat di gedung Pei Ing Pekanbaru dengan
anggota-anggota terdiri dari:
1. Wan Ghalib
2. Soeman Hs
3. A. Muin Sadjoko.
Anggota-anggota
Badan Pemerintahan Harian tersebut merupakan pembantu-pembantu Gubernur
Kepala Daerah untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Di dalam
rapat Gubernur, Badan Pemerintah Harian dan Staff Residen Mr. Sis
Tjakraningrat, disusunlah program kerje Pemerintah Daerah, yang dititik
beratkan pada:
1. Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk kemakmuran rakyat
2. Menggali sumber-sumber penghasilan daerah
3. Menyempurnakan aparatur.
Program
tersebut dilaksanakan secara konsekwen sehingga dalam waktu singkat
jalan raya antara Pekanbaru sampai batas Sumatera Barat siap dikerjakan.
Jalan tersebut merupakan kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan keuangan
daerah mulai kelihatan nyata, sehingga Kas Daerah yang pada mulanya
kosong sama sekali, mulai berisi. Anggaran Belanja yang diperbuat
kemudian tidak lagi merupakan anggaran khayalan tetapi betul-betul dapat
dipenuhi dengan sumber-sumber penghasilan sendiri sebagai suatu daerah
otonom.
Disamping
itu atas prakarsa Gubernur Kaharuddin Nasution diusahakan pula
pengumpulan dana disamping keuangan daerah yang sifatnya inkonvensional.
Dana ini diperdapat dari sumber-sumber di luar anggaran daerah, dan
hasilnya dimanfaatkan untuk pembangunan, diantaranya pembangunan
pelabuhan baru beserta gudangnya, gedung pertemuan umum (Gedung
Trikora), gedung Universitas Riau, Wisma Riau Mesjid Agung, Asrama
Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di Yogyakarta dan lain-lain.
Untuk
penyempurnaan pemerintahan daerah, disusunlah DPRD-GR. Untuk itu
ditugaskan anggota BPH Wan Ghalib dengan dibantu Bupati Dt. Mangkuto
Ameh untuk mengadakan hearing dengan partai-partai politik dan
organisasi-organisasi massa dalam menyusun komposisi. Sesuai dengan itu
diajukan sebanyak 38 calon anggota yang disampaikan kepada menteri dalam
negeri Ipik Gandamana.
Usaha
untuk menyempurnakan Pemerintah Daerah terus ditingkatkan, disamping
Gubernur Kepala Daerah, pada tanggal 25 April 1962 diangkat seorang
Wakil Gubernur kepala Daerah, yaitu Dt. Wan Abdurrahman yang semula
menjabat Walikota Pekanbaru, jabatan Walikota dipegang oleh Tengku Bay.
Masuknya
unsur-unsur Nasional dan Komunis dalam tubuh BPH disebabkan saat itu
sudah merupakan ketentuan yang tidak tertulis, bahwa semua aparat
pemerintahan harus berintikan "NASAKOM". Kemudian Penpres No. 6 tahun
1959 diganti dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965
tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Nasakomisasi diterapkan tidak
melalui ketentuan perundang-undangan tetapi tekanan-tekanan dari atas.
Sejalan
dengan itu dibentuk pula pula apa yang dinamakan Front Nasional Daerah
Tingkat I Riau, yang pimpinan hariannya terdiri dari unsur Nasakom.
Front Nasional ini mengkoordinir semua potensi parta-partai politik dan
organisasi-organisasi massa.
Dengan sendirinya di dalam Front Nasional ini bertarung ideologi yang
bertentangan, yang menurut cita-cita haruslah dipersatukan.
Kedudukan
pimpinan harian Front Nasional ini merupakan kedudukan penting, karena
mereka menguasai massa rakyat. Karena itu pulalah Pimpinanan Harian
tersebut didudukkan di samping Gubernur Kepala Daerah, yang merupakan
anggota Panca Tunggal. Atas dasar Nasakomisasi ini, maka golongan
komunis telah dapat merebut posisi yang kuat. Ditambah pula dengan
tekanan-tekanan pihak yang berkuasa, maka peranan komunis dalam Front
Nasional tersebut sangat menonjol.
Disamping
penyempurnaan aparatur pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah dirasakan
pula bahwa luasnya daerah-daerah kabupaten yang ada dan batas-batasnya
kurang sempurna, sehingga sering menimbulkan stagnasi dalam kelancaran
jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi adanya hasrat rakyat dari
beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan Siapi-api dan
lain-lain yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan
Kabupaten. Untuk itu maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada
tanggal 15 Desember 1962 dengan SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu
panitia.
Hasil kerja dari pantia tersebut menjadikan Provinsi Riau 5 (lima) buah daerah tingkat II dan satu buah Kotamadya.
1. Kotamadya Pekanbaru: Walikota KDH Kotamadya Tengku Bay.
2. Kabupaten Kampar: Bupati KDH R. Subrantas
3. Kabupaten Indragiri Hulu: Bupati KDH. H. Masnoer
4. Kabupaten Indragiri Hilir: Bupati KDH Drs. Baharuddin Yusuf
5. Kabupaten Kepulauan Riau: Bupati KDH Adnan Kasim
6. Kabupaten Bengkalis: Bupati KDH H. Zalik Aris.
Sewaktu
pemerintah pusat memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan
Singapura, serta ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan
Presiden Republik Indonesia tahun 1963, maka yang paling dahulu
menampung konsekwensi-konsekwensinya adalah daerah Riau. Daerah ini yang
berbatasan langsung dengan kedua negara tetangga tersebut dan orientasi
ekonominya sejak berabad-abad tergantung dari Malaysia dan Singapura
sekaligus menjadi kacau.
Untuk
menghadapi keadaan yang sangat mengacaukan kehidupan rakyat tersebut,
dalam rapat kilat yang diadakan Gubernur beserta anggota-anggota BPH,
Catur Tunggal dan Instansi-instansi yang bertanggung jawab, telah
dibahas situasi yang gawat tersebut serta dicarikan jalan keluar untuk
bisa mengatasi keadaan. Kepada salah seorang anggota BPH ditugaskan
untuk menyusun suatu konsep program yang meliputi semua bidang kecuali
bidang pertanahan, dengan diberi waktu satu malam. Dalam rapat yang
diadakan besok paginya konsep yang telah disusun tersebut diterima
secara mutatis mutandis.
Tetapi
nyatanya pemeritah pusat waktu itu tidak dapat melaksanakan program
tersebut sebagaimana yang diharapkan terutama tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi langsung
oleh rakyat, seperti pengiriman bahan pokok untuk daerah-daerah
Kepulauan dan penyaluran hasil produksi rakyat.
Dalam
bidang moneter diambil pula tindakan-tindakan drastis dengan
menghapuskan berlakunya mata uang dollar Singapura/Malaysia di Kepulauan
Riau, serta menggantinya dengan KRRP (Rupiah Kepualaun Riau) yang
berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1963. Untuk melaksanakan pengrupiahan
Kepualauan Riau tersebut, diberikan tugas kepada Team Task Force II
dibawah pimpinan Mr. Djuana dari Bank Indonesia.
Dengan
perubahan-perubahan pola ekonomi secara mendadak dan menyeluruh dengan
sendirinya terjadi stagnasi. Perekonomian jadi tidak menentu. Arus
barang terhenti, baik keluar maupun masuk. Daerah Riau yang pada
dasarnya adalah penghasil barang ekspor, akhirnya menjadi kekeringan.
Barang-barang produksi rakyat, terutama karet menjadi menumpuk dan tak
dapat di alirkan, barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk kecuali
yang didatangkan oleh pemerintah sendiri yang tebatas hanya di kota-kota
pelabuhan. Kebijaksanaan yang diambil pemerintah kemudian tidak
meredakan keadaan, malahan menambah kesengsarahan rakyat, terutama di
bidang ekonomi dan keamanan.
Untuk
menanggulangi bidang ekonomi, di pusat dibentuk Komando Tertinggi
Urusan Ekonomi (Kotoe) yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Dr.
Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur Kaharuddin Nasution sebagai
pembantu Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di tunjuk PT. Karkam dengan hak
monopoli untuk menampung seluruh karet rakyat dan mengekspor keluar
negeri. Kondisi ini justru semakin memperburuk perekonomian rakyat.
Pada
tahun-tahun terakhir masa jabatan Gubernur Kaharuddin Nasution terjadi
ketegangan dengan pemuka-pemuka masyarakat Riau. Dari segi politis,
ketegangan dengan tokoh-tokoh masyarakat Riau telah berjalan beberapa
tahun yang berpangkal pada politik kepegawaian. Pemuka-pemuka daerah
berpendapat bahwa Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu banyak memberikan
kedudukan-kedudukan kunci kepada orang-orang yang dianggap tidak
mempunyai iktikad baik terhadap daerah Riau. Hal ini ditambah pula
dengan ditangkapnya Wakil Gubernur Dt. Wan Abdul Rachman yang difitnah
ikut dalam gerakan membentuk negara RPI (Republik Persatuan Indonesia),
fitnahan ini dilansir oleh PKI. Akibatnya Dt. Wan Abdurrachman
diberhentikan dari jabatannya dengan hak pensiun.
Kebangkitan
Angkatan 66 dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Riau
bukanlah suatu gerakan spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66
timbul dari suatu embrio proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep
Nasakom Orde Lama menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam segala
aspek kehidupan nasional. Lembaga-lembaga Negara tidak berfungsi
sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Penetrasi proses Nasakomisasi ke
dalam masyarakat Pancasilais menimbulkan keretakan sosial dan
menggoncangkan sistem-sistem nilai yang menimbulkan situasi konflik. Di
tambah lagi adanya konfrontasi dengan Malaysia yang menyebabkan rakyat
Riau sangat menderita karena kehidupan perekonomian antara Riau dengan
Malaysia menjadi terputus.
Demikianlah
penderitaan, konfrontasi dan kemelut berlangsung terus dan suasana
semakin panas di Riau. Menjelang meletusnya G 30 S/PKI kegiatan
tokoh-tokoh PKI di Riau makin meningkat. Mereka dengan berani secara
langsung menyerang lawan-lawan politiknya. Tokoh-tokoh PKI Riau Alihami
Cs mempergunakan kesempatan dalam berbagai forum untuk menghantam
lawan-lawannya dan menonjolkan diri sebagai pihak yang revolusioner.
Begitu juga masyarakat Cina yang berkewargaan negara RRC memperlihatkan
kegiatan-kegiatan yang luar biasa.
Malam tanggal 30 September 1965
mereka yang tergabung dalam Baperki bersama-sama dengan PKI Riau
mengadakan konsolidasi dan Show of force dalam memperingati Hari
Angkatan Perang Republik Indonesia, jadi sehari mendahului waktu
peringatan yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya; PKI beserta
ormas-ormasnya memboikot sidang pleno lengkap Front Nasional Riau yang
langsung dipimpin oleh Gubernur Kaharuddin Nasution pada tanggal 30
September 1965. Ternyata kegiatan dan pergerakan PKI beserta
ormas-ormasnya adalah untuk merebut pemerintahan yang syah.
Kondisi ini
akhirnya bisa di akhiri, perjuangan generasi muda Riau tidak sia-sia,
rezim Orde Lama di Riau tamat sejarahnya dan Kolonel Arifin Achmad
diangkat sebagai care taker Gubernur/KDH Riau pada tanggal 16 Nopember
1966. Mulai saat itu tertancaplah tonggak kemenangan Orde Baru di Riau.
Dengan
diangkatnya Kolonel Arifin Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala
Daerah Provinsi Riau terhitung mulai tanggal 16 Oktober 1966 dengan
surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP/4/43-1506. pelantikannya
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Basuki rachmad dalam
suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15 Nopember 1966.
Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau mengukuhkan
Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan
Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan
Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk
masa jabatan 5 tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260,
tertanggal 24 Februari 1967.
Surat Keputusan tersebut diperbaharui
dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor : 146/M/1969
tertanggal 17 Nopember 1969.
Hingga sekarang pejabat Gubernur Riau sudah mengalami beberapa kali pergantian, yaitu:
1. Mr. S.M. Amin Periode 1958 - 1960
2. H. Kaharuddin Nasution Periode 1960 - 1966
3. H. Arifin Ahmad Periode 1966 - 1978
4. Hr. Subrantas.S Periode 1978 - 1980
5. H. Prapto Prayitno (Plt) 1980
6. H. Imam Munandar Periode 1980 - 1988
7. H. Baharuddin Yusuf (Plt) 1988
8. Atar Sibero (Plt) 1988
9. H. Soeripto Periode 1988 - 1998
10. H. Saleh Djasit Periode 1998 - 2003
11. H.M. Rusli Zainal Periode 2003 - 2008
12. Wan Abu Bakar (Plt) 2008
13. H.M. Rusli Zainal Periode 2008 - sekarang
Seiring
dengan berhembusnya angin reformasi telah memberikan perubahan yang
drastis terhadap negeri ini, tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri.
Salah satu perwujudannya adalah dengan diberlakukannya pelaksanaan
otonomi daerah yang mulai di laksanakan pada tanggal 1 Januari 2001. Hal
ini berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah baru di Indonesia,
dari 27 Provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 32 Provinsi. Tidak
terkecuali Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan
Riau resmi mejadi Provinsi ke 32 di Indonesia, itu berarti Provinsi Riau
yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 11
Kabupaten/Kota. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah; (1) Kuantang
Singingi, (2) Inderagiri Hulu, (3) Inderagiri Hilir, (4) Pelalawan, (5)
Siak, (6) Kampar, (7) Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, dan
Kota (10) Pekanbaru, (11) Dumai. (Sumber: 1) Buku Tanah Air Kebudayaan
Melayu, penyusun Elmustian Rahman, Derichard H. Putra, dan Abdul Jalil. 2) website resmi pemerintah Provinsi Riau